New Videos from Youtube

Cerita Sex SMA Dijamin HOT dan Terbaru

Cerita Sex SMA Dijamin HOT dan Terbaru. Menurut survei di google pencarian dengan kata kunci Cerita Sex, Cerita Bokep, Cerita Mesum dan Cerita HOT
sangat banyak sekali di cari orang. maka dari itu admin dari Zonaterkini.com akan memusakan para pengunjungnya dengan memberikan artikel Cerita Seks dan pastinya terbaru, langsung saja agan-agan simak Cerita Sex di bawah ini :



Cerita Sex
Dari Adiknya, Dapat Kakaknya......
Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan rapat pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus pembentukan panitia kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.

Usai rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara rutin bulanan: pulang ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku.

“Didik .. “ aku menoleh, ternyata Sarah yang langsung melambai supaya aku mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin aku omongin sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.

“Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.

“Cuman sebentar kok Dik. Kamu tunggu dulu ya, aku mberesin ini dulu,” Sarah agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat. Akhirnya aku duduk kembali.

“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?” tanya Sarah setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong berdua denganku.

“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.

“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”

“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nita,” jawabku datar.

“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata Sarah lagi.

“Jalan bareng kan nggak lantas berarti pacaran tho,” bantahku.

“Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Sarah berkata sambil mencibir, sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa. “Cowok di mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”

“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Nita.”

Aku sama sekali tidak bohong pada Sarah, karena aku sama Nita memang sudah punya komitmen untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada Sarah, tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama hubunganku dengan Nita.

“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.

“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.

“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?” tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.

“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian bertanya.

“Enggak kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Sarah. Akhirnya kami jalan bersama sambil ngobrol soal-soal ringan yang lain. Aku dan Sarahpun berpisah di gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu sopirnya, sedang aku langsung menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main ke rumah Nita lain waktu.

*****

Diam-diam aku merasa geli. Masak malam minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus ditemani kakaknya, dan diantar sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar menciumpun rasanya hampir mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga untuk membatalkan begitu saja. Rupanya aturan orang tua Sarah yang ketat itu, bakalan membuat hubunganku dengan Sarah jadi sekedar roman-romanan saja. Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di ‘food court’.

Di tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Indah, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Indah, adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali. Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah kuliah di ibukota propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya mudiknya ke kota kecamatan.

Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak Indah mirip ayahnya sedang Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini lumayan tinggi, tidak seperti Sarah yang pendek, meski sama-sama agak gemuk.

Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Indah ada pada toketnya. Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat dari samping, sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi ingat Nita. Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah Sarah, pasti aku sudah melayang bareng Nita.

Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah mendekatiku.

“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.

“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti.

“Sarah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.

“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.

“Alah, pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diam sambil merasa heran karena apa yang dikatakan Mbak Indah itu betul.

“Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain sama Sarah, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah yang tadinya tutur katanya halus dan ramah berubah seperti itu.

“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot.

“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Indah ini lucu,” kataku.

“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.

“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.

“Ih, senyam-senyum mlulu. Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga mata mesum!” Mbak Indah makin naik, wajahnya sedikit memerah.

“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.

“Denger ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama adikku, aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Indah nampak benar-benar marah.

Akhirnya kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Indah seperti itu, apalagi pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami. Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama ini, sampai pada acara ‘apel’ pada saat itu.

“Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.

“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi.

“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”

Aku berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau aku diam-diam sering memperhatikan dia.

“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.

Setelah itu Sarah muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak Indah jika kulihat Sarah sibuk memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar menggoda Mbak Indah.

Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan belanja. Sebelum keluar dari mall Mbak Indah sempat memberiku sobekan kertas, tentu saja tanpa sepengetahuan Sarah.

“Baca di rumah,” bisiknya.

***

Aku lega melihat Mbak Indah datang ke counter bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat setengah jam.

“Sori terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin dalam kulot hitam, blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi, Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus berangkat.

Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak Indah yang merem sambil bersandar. Tanganku pun mulai mengelu-elus tangannya. Mbak Indah membuka mata, kemudian bangun dari sandarannya dan mendekatkan kepalanya padaku.

“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik.

“Kan lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak Indah sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak diam sambil tiduran selama perjalanan.

***

Yang disebut kamar kos oleh Mbak Indah ternyata sebuah faviliun. Faviliun yang ditinggali Mbak Indah kecil tapi nampak lux, didukung lingkungannya yang juga perumahan mewah.

“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu tetangga. Jadi, cuek adalah cara paling baik.”

Aku langsung merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Indah langsung menuju kulkas yang sepertinya terus on.

“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.

“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.

“Ih, jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Indah tampak cemberut. “Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar hand-bag dan menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak masuk kamar, tapi hanya membuka pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi.

“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”

“Ih, maunya .. “ Mbak Indah menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Indah. Langsung kupeluk dia dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi. Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Indah, sebelum dia memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku.

“Katanya mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas. Setelah itu diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada. Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku. Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa. Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang bulat di depan Mbak Indah.

“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.

“Sakit Mbak,” aku meringis.

“Biarin,” kata Mbak Indah yang diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya, sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam yang masih dipakainya. Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak Indah yang masih tertutup BH, dan Mbak Indah tidak melanjutkan melepas pakainnya semua sambil tersenyum menggoda padaku.

Birahi benar-benar sudah tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang toket-nya yang besar itu terlepas.

“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak, emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Tapi aku sudah tidak peduli. Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan.

Mbak Indah tidak berhenti mendesah sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja, mulutku makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri bergantian. Kukulum, kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin intens itu Mbak Indah mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya.

Beberapa menit kulakukan aksi yang sangat dinikmati Mbak Indah itu, sebelum akhirnya dia mendorong kepalaku agar terlepas dari toketnya. Mbak Indah kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi lirih dan matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat.

Belum sempat mataku menikmati tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam rudalku. Kemudian Mbak Indah berjalan mundur masuk kamar mandi sementara rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin tertawa melihat kelakuan Mbak Indah itu.

Mbak Indah langsung menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …

“mmmmhhhh …. “ bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan menempel ketat dan sesekali saling menggesek, kedua tangan mengusap-usap bagian belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.

Tak ingat berapa lama kami melakukan aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku luruskan, sementar Mbak Indah duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak Indah melepaskan bibirnya dari bibirku, pelahan menyusur ke bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati leherku, berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya. Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya menggenggam rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut, sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran. Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang menikmati aksi Mbak Indah yang seperti itu.

Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya ganti menggenggam bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati, berpindah dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah, sehingga bagian batanku pun masuk 2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Indah seperti melawan. Hal itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.

Kuangkat kepala Mbak Indah, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah yang masih memejamkan mata sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya bergantian.

Erangannya, desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi. Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke daging menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak Indah mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar masukkan dengan pelan. Desisan Mbak Indah makin panjang, dan sempat ku lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di dalam lubang memeknya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang sedang beraksi itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak melepas tangannya dari tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah meraih tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku bergerak pelahan di dalam memeknya.

Beberapa menit kemudian, kurasakan Mbak Indah mengangkat kepalaku menjauhkan dari memeknya. Mbak Indah membuka mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding kamar mandi. Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang memeknya.

“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah melenguh panjang dan matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam memeknya. Mbak Indah mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali pinggulnya membuat gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Indah yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah dengan cukup cepat. Mbak Indah menghentikan gerakannya, tangannya menekan dadaku cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi sodok itu. Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak kecewa, sampai akhirnya Mbak Indah membuka matanya, tangannya mengusap kedua mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.

Setelah beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan. Desahan dan erangan Mbak Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu indah. Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan sekelilingku terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang menyatu denganku. Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku.

Beberapa menit kemudian gerakan Mbak Indah berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam saja dalam posisi seperti itu. Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak Indah tidak jatuh ke belakang. Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan rudal dan pantatku.

“Aaa .. aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak Indah itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak Indah menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme yang eksotik dan artistik.

Setelah puas meresapi kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Indah mengangkat kepala dan membuka matanya. Dia tersenyum yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut. Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak Indah sudah bangkit dan bergeser ke samping. Segera kubimbing dia agar rebahan dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti kemauanku sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan ke lubang memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas semuanya Mbak Indah memelekku sambil berbisik pelan.

“Jangan di dalam ya sayang, aku belum minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu mulai kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante Ani atau Nita. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.

“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga rudalku terlepas dari memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada di atas perut Mbak Indah.

“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut Mbak Indah. Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Indah, sambil memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.

“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.

***
Selama di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Indah. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan.

“Kalau sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di jiwaku.”

Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Indah dan hanya dari Mbak Indah, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari Mbak Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.

“Ingat ya, jangan pernah sekali-kali kamu lakukan sama Sarah. Kalau sampai kamu lakukan, aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Indah memperingatkanku tentang Sarah, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk terminal.

Cerita Dewasa . Sex (' Riri ABG SMP ')




         - Sebelumnya kuperkenalkan dulu siapa diriku. Namaku Nunu, seorang mahasiswa semester pertama di universitas JS di kota P dan nama pacarku Rirrie, sekolah di SMU Negeri 1 kelas III di kota P juga. Wajahnya cantik walaupun tidak secantik bintang sinetron, manis tepatnya. Punya alis mata yang hitam tebal yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dengan hidung yang mungil lucu plus
bibir "dower" yang selalu merah dan dihiasi dengan gigi yang sedikit tidak teratur tetapi justru giginya itu yang menjadi daya tariutamanya. Tingginya sekitar 155 cm, berat 47 kg. Badannya mungil tapi montok. Bahu yang datar dan badan yang tegap dihiasi dengan sepasang payudara indah berukuran 32B yang proporsional sekali dengan tubuhnya. Pantat yang terbentuk rapi disertai sepasang kaki yangindah, terutama betisnya. Pinggang yang ramping, perut yang datar dan pinggul yang tidak terlalu besar. Tapi sungguh, dengan keadaan tubuh seperti itu, tidak ada pria yang bisa menahan napsunya jika melihatnya sedang telanjang bulat. Tentu saja.Kejadian ini kualami kalau tidak salah hari Kamis tanggal 7 Desember1998. Aku barus saja menjemputnya pulang sekolah jam setengah dua siang. Biasanya sich dia bawa motor sendiri, cuman hari itu entah kenapa dia berangkat sekolah naik becak. Jadinya saat pulang sekolah dia menelponku minta dijemput. Panas sekali hari itu. Saat sampai di rumahnya aku tidak langsung pulang. Aku mampir sejenak buat sekedar menghilangkan rasa haus. Aku duduk di ruang tamu, di sofa yangpanjang, sementara dia mengganti baju sekolahnya dengan gaun santai. Entah model apa bajunya, yang jelas dia memakai kaos dengan celana pendek yang berbahan kaos juga. Dia tampak seksi sekali dengan dandanan seperti itu. Dia balik sambil membawa segelas sirup dingindan kemudian tiduran di sofa dengan posisi kepalanya di pangkuanku.

Kami pun berbasa-basi, saling menanyakan kabar masing-masing. Karena memang kita sudah lama tidak ketemu. Aku barusan pulang dari Jogja, tinggal di sana beberapa hari. Dia orangnya memang gampang sekali kangen sama pacarnya. Ditinggal beberapa hari saja sudah sepertisebulan hebohnya. Dan kalau dia sedang kangen, rugi aku kalau tidak ada di sisinya. Tau maksudnya kan?

Lalu kami mulai bercerita tentang kegiatan kami masing-masing selama ini sambil sesekali saling mencumbu, berciuman dan berpagutan mesra. Saling memainkan lidah. Kubiarkan mulutnya melumat bibirku. Kubiarkan giginya menggigit lembut bibirku. Kurasakan lidahnya menari-nari di dalam mulutku. Napasnya yang lembut mendera wajahku. Oh ya, aku paling suka "kissing" dengannya saat dia sedang makan coklat. Rasanya jadi tambah enak. Dan seperti biasa kalau kami sedang berasyik
masyuk, kedua belah tanganku selalu menari-nari di tubuhnya. Selalu! Orang dianya sendiri yang minta buat dijamah. "Pokoknya kalau kamu sedang mencumbuku, sekalian dech tangan kamu ngerjain tubuhku. Biar tidak nanggung. Tapi harus di bagian yang sensitif. Seperti di daerah
sini, sini dan di sini!" katanya kepadaku suatu waktu sambil
tangannya menunjuk leher, dada dan bawah perutnya. Enak katanya. Akunya sich oke-oke aja. Siapa yang bakal menolak ditawarin kerjaan seperti itu.


Mulailah pekerjaanku. Kudekatkan kepalaku ke lehernya, kukecup perlahan leher itu kemudian kugigit perlahan. Dia mendongakkan kepalanya tanda dia merasa kegelian. Kucium daerah telinganya dan kukulum bagian telinga yang menggelambir. Dia mendesah perlahan dan
kemudian melingkarkan kedua tangannya ke leherku. Tangan kananku pun berusaha menopang punggungnya agar tubuhnya sedikit tegak dan tangan kiriku segera kumasukkan ke balik bajunya, mengakibatkan kaosnya terangkat sampai ke perut. Tanganku menyentuh kulitnya yang halus. Menyusup ke punggungnya untuk melepas tali BH-nya. Dan mulailah tanganku menjelajahi bukit barisan itu. Kuremas payudaranya, terasa lembut sekali, diapun merintih. Kupilin putingnya, dia mengerang.
Kutarik puting itu dan diapun mendesah. "Ahh..!" Kuputar-putar jariku di sekitar puting itu "Sshhh..!" Dia mengerang merasakan kenikmatan itu. Kuremas-remas buah dada itu berulangkali, kucubit bukit itu. Rasanya kenyal sekali. Nggak bakalan bosan walaupun tiap hari aku disuruh menyentuhnya.

Lalu tanganku pun turun menyusuri perutnya, menuju hutan tropis. Masuk ke dalam celana dalamnya yang terbuat dari kain satin dengan sedikit renda pada bagian vaginanya. Kutemukan tumpukan kecil daging yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kugunakan jari telunjuk dan jari manisku untuk membelah labianya yang masih terasa liat sementara jari tengahku kumasukan sedikit ke dalam liang senggamanya. "Mmhhh..." Dia kegelian. Kedua kakinya nampak terjulur lurus, sedikit menegang.
Kucari seonggok daging kecil diantaranya. Bagian yang mampu mengantarkan seorang wanita merasakan apa arti hidup yang
sesungguhnya. Setelah kutemukan mulai tanganku memainkannya. Kusentuh klitoris itu lembut sekali, namun akibatnya sungguh luar biasa.
Tubuhnya menggelinjang hebat dengan kedua kaki terangkat ke atas menggapai-gapai di udara. Dia melenguh dengan mata terpejam dan lidah yang menjilati bibirnya. Langsung kulumat mulutnya. Dia pun membalas dengan ganas. "Uuhhhh..." Lalu tangan kiriku berusaha menarik
klitorisnya, kupencet, kusentil, kupetik, kugesek dengan jari tengahku. Dia memang paling suka disentuh klitorisnya. Dan kalau
sudah disentuh, bisanya seperti orang sakau. Mendesah, mengerang, dan menggigil.


Pernah suatu ketika aku ditelpon supaya datang ke rumahnya cuma untuk "memainkan" klitorisnya. Ya, ampuun... setelah puas bermain api, kami pun mencari air untuk menyiramnya. Ehh.. sorry, ngelantur. Tak lama kemudian dia mengajakku ke lantai dua.


"Mas, naik ke atas yuk?" "Mo ngapain?" tanyaku.
"Ke kamarnya Mbak Dian, di sini panas. Ada AC di sana." "Boleh!" aku setuju.


Kami pun naik ke lantai dua. Satu persatu anak tangga itu kami lewati
dan kami pun masuk ke kamar Mbak Dian. Aku langsung tiduran di tempat tidur, sementara dia menyalakan AC-nya. Lalu dia rebah di sampingku. Kami bercerita lagi dan bercumbu lagi. Kali ini kulepas kaosnya,
setumpuk daging segar menggunung di dadanya yang tertutup BH semi transparan seolah ingin melompat keluar. Waw, menantang sekali dan kemudian dengan kasar kusentakkan BH itu hingga terlepas, lalu terhamparlah pemandangan alam. Nampak Sindoro Sumbing yang berjejer rapi. Bergelanyut manja di dadanya. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan kokoh tegak ke atas mengerling ke arahku menantang untuk kunikmati. Payudaranya betul-betul indah bentuknya, terbungkus kulit

kuning langsat tanpa cacat sedikitpun, yang tampak membias jika terkena cahaya, yang menandakan payudara itu masih sangat kencang. Maklum payudara perawan yang rajin merawat tubuh. Namun dengan payudara seperti itu, jangankan menyentuh, cuma dengan memandangnya saja kita akan segera tahu kalau payudara itu diremas akan terasasangat lembut di tangan.

Kudekatkan wajahku ke dadanya. Mulutku kubuka untuk menikmati kedua payudaranya. Bau harum khas tubuhnya semerbak merasuk ke dalam hidungku. Kuhisap salah satu putingnya, kugigit-gigit kecil. Lidahku bergerak memutar di sekitar puting susunya. Dia mengejang kegelian. Menjambak rambutku dan ditekankan kepalaku ke dadanya. Wajahku terbenam di sana. Kugigit sedikit bagian dari bukit itu dan kusedot
agak keras. Nampaklah tanda merah di sana. Puas kunikmati dadanya, mulailah ada hasrat yang menuntut untuk berbuat lebih. Tampak juga di wajah Rirrie. Matanya menatapku sayu. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Kalau dia dalam keadaan seperti ini, dapat dipastikan diasedang terangsang berat. Dan aku yakin kemaluannya pasti sudah basah.

Aku bertanya padanya, "Rie, sekali-kali kita ngewek yuk!" "Ah, tidak mau ah!" dia menolak.
"Kenapa?" tanyaku. "Aku malu," jawabnya.
"Malu sama siapa?" tanyaku lagi.
"Aku malu diliat bugil. Aku malu kamu liat anuku." terangnya.
"Lho, kamu ini aneh. Masa hampir tiap hari kupegang memek kamu, cuma ngeliat malah tidak boleh?" tanyaku keheranan.
"He.." dia tertawa manja. Otakku bekerja mencari akal.
"Atau gini aja, kamu ambil selimut buat nutupin tubuh kamu. Ntar kita
cari gaya yang bikin memek kamu nggak keliatan," usulku sembarangan, nggak taunya dia setuju.
"Iya dech Mas"
Aku girang setengah mati. Lalu dia pun turun ke bawah mengambil selimut. Tak lama kemudian dia sudah ada di hadapanku lagi dengan sebuah selimut batik di tangannya. Lalu selimut itu diserahkannya kepadaku.

"Nah, sekarang kamu lepas semua pakain kamu!" perintahku.
Dia pun segera melepas semua pakaiannya. Sungguh anggun cara dia melepas pakaian. Perlahan namun pasti. Apalagi saat dia mengangkat

kedua tangannya untuk melepas penjepit rambut yang menyebabkan rambutnya terurai indah menutupi sebagian pundaknya. Oh, cantik sekali dia. Berdiri telanjang tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Layaknya seorang bidadari. Dengan payudara yang kencang mengantung indah, dengan bulu halus yang tertata rapi menghiasi bagian bawah perutnya. Dan ketika sadar dirinya telanjang bulat, secepat kilat dia merampas selimut yang ada di tanganku dan digunakanya untuk menutupi tubuhnya. Kusuruh dia untuk naik ke atas tempat tidur dalam posisi merangkak membelakangiku. Aku segera
melepas seluruh pakaianku. Dia menengok ke belakang dan tak sengaja menatap penisku yang sudah tegang berat dan langsung memalingkan wajah. Jengah. Sambil merajuk manja. "Ihhh..."

Walaupun kami sering bercumbu tapi kami belum pernah saling mempertontonkan alat vital masing-masing. Kalau saling pegang atau sekedar nyentuh sich sering. Makanya jangan heran kalau dia jengah waktu melihat penisku. Dan lagi dia itu orangnya pasif.
Penginnya "dikerjain" melulu, tapi kalau disuruh "ngerjain" suka ogah- ogahan. Padahal sebenarnya dia senang sekali kalau disuruh memegang penisku. Tapi itulah dia, dia yang seorang Rirrie yang penuh dengan
tanda tanya. Yang aku pun masih suka bingung untuk mengikuti jalan pikirannya.

Aku pun segera mendekat membawa seluruh amunisi yang kupunya. Siap dalam duel berdarah. Kuangkat sedikit selimut yang menutupi pantatnya dan harum birahi yang amat kusukai dari vaginanya menyebar. Tanganku pun masuk ke balik selimut itu. Mencari daerah jajahan yang harus dikuasai. Meraba-raba sampai akhirnya kutemukan gundukan itu. Terasa benar bulu kemaluannya di jariku.

"Aowww... iiihhh! Mas nakal!" Dia protes ketika aku berusaha mencabut beberapa helai bulu kemaluannya. Sebelumnya buat para pembaca, aku melakukan ini semua tanpa melihat ke arah vaginanya. Bayangkan, bagaimana sulitnya. Soalnya aku belum pernah menatap langsung vagina sekarang ini. Mulai kupusatkan perhatianku di daerah selangkangannya. Vaginanya terasa basah. Pasti dia sudah sangat terangsang. Dan kucari letak lubangnya dengan jariku.


"Ah, geli Mas!" dia tersentak ketika tak sengaja tanganku menyentuh klitorisnya.
"Hore ketemu...!!!" aku teriak kegirangan.

Akhirnya kutemukan lubang itu. Kumasukkan seperempat jari telunjukku ke dalam vaginanya. Sebentar kuputar-putar disana. Pinggulnya bergerak-gerak tanda dia kegelian. Lalu kutarik kembali dan kini
pelan-pelan kusorongkan rudalku untuk mencoba menembus dimensi itu. Saat pertama penisku menyentuh vaginanya, secara refleks dia mengatupkan kedua kakinya.

"Dasar perawan.." kataku di dalam hati.
Lalu perlahan kucoba merenggangkan kakinya. Terasa ada penolakan halus disana.
"Ayo dong sayang, direngganging sedikit kakinya. Katanya pengen di entotin."
Dia nurut, perlahan dia mulai mengangkangkan kedua kakinya. Rudalku pun kembali mencari sasarannya. Mulai menempel di bibir vaginanya. Terasa hangat di situ.


"Aduh Mas, aku deg-degan nich" "Udah kamu tenang aja dech!"
Perlahan tanganku mencoba untuk membuka tabir itu. Kugunakan jemari tanganku untuk menguak vagina itu. Sedikit terbuka. Dan kucoba memasukkan penisku. "Bless!" Kepala rudalku mulai masuk, membuat Rirrie mengerang kesakitan, membuatnya sedikit tidak nyaman.

"Aduh, Mas, sakit nich!" dia merintih.
Kepalanya mendongak ke atas dengan mimik menahan rasa sakit. "Tahan sebentar ya sayang! Sakitnya paling cuma sebentar kok." Kasihan juga sich melihat dia begitu. Tapi demi kenikmatan itu apa boleh buat.
Namun saat kepala rudalku mulai menguak masuk vaginanya, terasa ada energi yang sangat kuat dari dalam vaginanya mencoba untuk menyedot penisku agar masuk ke dalam vagina itu. Sampai pinggulku tertarik
maju membuat seluruh penisku melesak ke dalam lubang itu. "Sleep..."

"Ah, Mas sakit nich!" "Tapi kok enak ya Mas?"
"Makanya kalo pengen lebih enak jangan ribut terus!" kataku.
"Enak tapi kok aneh ya Mas? Kayak ada yang ngganjel," dia ngomong sekenanya.
Aku pun tertawa.
"Kamu santai aja dong, jangan tegang gitu."

Dia menuruti perintahku. Dan sensasi yang belum pernah kami rasakan mulai meresap di diri kami. Penisku rasanya seperti diremas-remas lembut sekali oleh suatu benda asing yang hangat dan basah tak dikenal, disedot-sedot oleh vaginanya. Duh.. nikmatnya luar biasa. Mataku sampai nanar menahan kenikmatan itu. Lembab namun terasa sangat nyaman. Mulai kugerakkan maju mundur pinggangku, kugenjot penisku perlahan dan kemudian sedikit demi sedikit kupercepat genjotanku, kadang-kadang kupelankan sambil kubenamkan sedalam- dalamnya ke lubang vaginanya sampai dia menjerit, "Mas.. Mas aduh yang ini sich enak banget.. tusuk lagi dong yang keras Mas!" Rirrie memohon.

Langsung saja kuturuti permintaannya. penisku bergesekan dengan dinding vaginanya yang membuahkan kenikmatan tersendiri bagi kami. Mengakibatkan bunyi berdecak yang mengiringiku menuju sejuta kenikmatan.


Tidak lama kemudian Ririe mendesah hebat sambil badannya bergerak ke sana-kemari, cepat sekali, badannya meliuk-liuk, tangannya meremas- remas sprei tempat tidur hingga acak-acakan.
"Uuuhh.. enak sekali Mas.. pelanin dong nyodoknya," rintih Rirrie. Kuturuti kemauanya.
"Uh!" nikmat sekali rasanya.

Kupompa perlahan-lahan sambil kunikmati kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Sebentar-sebentar dia menggoyangkan pinggulnya, seolah-olah ingin agar penisku juga merasakan kenikmatan itu. Kedua belah tanganku bergerak kesana kemari menjelajahi bagian belakang
tubuhnya. Kujambak rambutnya dan kudongakkan kepalanya. Kubungkukan badanku lalu kuciumi punggungnya. Kujilati leher itu. Kutampar
perlahan pantat Rirrie. Dia menjerit kecil. Tanganku pun mengarah ke
depan menyambar payudaranya yang menggelantung tak berdaya. Manggut- manggut mengikuti gerakan badannya. Membuatku semakin horny. Payudaranya terasa lebih keras dari biasanya. Mungkin karena dia
sedang dalam kondisi terangsang puncak.

Kuremas-remas dengan kasar. Kupilin-pilin putingnya dan, "Plop..." ya ampun puting itu terlepas. Rambutnya yang panjang melambai-lambai mengikuti irama genjotanku. Matanya terlihat amat sayu dan sebentar- sebentar terpejam. Hingga akhirnya...

"Adduuhh.. Rirrie tidak kuat lagi Mas.." "Rirrie pengen pipis.."
"Masss.. aaakhh.."

Kurasakan dia menekan vaginanya sedalam mungkin sambil menggoyang- goyangkan pinggulnya dan mengatupkan kedua kakinya yang membuat penisku semakin keras terjepit. Namun sungguh, tindakannya justru
makin menambah nikmat gesekan yang kurasakan. Tubuhnya tersentak dan berdiri tegak membelakangiku. Kepalanya disandarkan di bahuku.

"Masss.. enak sekalii.. Hmmm.."
Lalu kulihat kepalanya mendongak ke atas dan kedua bola matanya membalik seperti orang kesurupan. Tangannya bergerak ke belakang memeluk tubuhku. Dan menekan kuat tubuhku seolah ingin menyatukan dengan tubuhnya. Intensitas denyutan vaginanya semakin tinggi dan kekuatan menyedotnya pun bertambah besar. Yang menyebabkan penisku terasa semakin tertarik di liang senggamanya. Kupercepat lagi
genjotanku. Dan akhirnya...

"Ohhh... aaakhhh.. ouch... Mas enak!"
Teriakannya keluar seiring orgasme yang dicapainya. "Seerrr..." cairan bening pun keluar membasahi liang senggamanya. Banjir. Kurasakan suhu di sekitar situ bertambah panas. Sekian lama berlalu tapi Rirrie masih terus memejamkan matanya dan menekan kuat pinggulnya. Menggerak-gerakannya kekiri dan kekanan. Mencoba untuk
menyerap segala kenikmatan yang baru pernah dirasakanya. Dia meracau tak karuan. Saat orgasme yang dialaminya berakhir, dia pun terkulai
lemas. Menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Dalam posisi nungging. penisku terlepas dari vaginanya. Tubuhnya bermandikan keringat. Semakin menambah pesona kecantikan tubuhnya. Tak sengaja aku melihat daerah selangkangannya. Ternyata bentuk vaginanya bagus sekali.

Vaginanya yang berwarna merah jambu nampak merekah sedikit monyong dan labia minora-nya nampak sedikit menjorok keluar. Mungkin karena
tadi rudalku berkali-kali membombardir pertahanannya. Vagina itu berdenyut-denyut dan berkilat terkena cahaya. Sedikit darah keluar
dari dalam vaginanya perlahan turun mengalir ke pahanya. Ternyata dia masih benar-benar perawan. Kubiarkan dia untuk mengatur detak
jantungnya. Agar mampu menghimpun kembali energi yang secara mendadak

dikeluarkannya. Sepertinya dia agak shock. Maklum, pengalaman pertama.

"Mas... yang barusan itu enak sekali." Dia berbisik sambil menatapku dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Senyum penuh kepuasan. Lalu kurebahkan tubuhnya sehingga dia dalam posisi tengkurap tidur, aku pun merebahkan tubuhku menindih punggungnya. Tanganku bergerak kembali ke arah selangkangannya. Becek sekali di sana. Kucari kembali letak liang senggama itu.

"Ayo sayang buka kembali surga kamu," pintaku.
Perlahan dia mengangkangkan kembali kedua kakinya. Dan kini giliranku untuk memetik kemenangan itu. Begitu melihat Rirrie membuka sedikit saja selangkangannya, semangatku langsung membara lagi. Kuambil ancang-ancang untuk memasukkan kembali penisku. Satu.. dua.. tiga.. dan, "Bleess..." dengan mudahnya penisku menembus vaginanya. Tanpa permisi dan karena sudah tidak sabar langsung kugenjot dengan kecepatan tinggi. Tak lama kemudia kurasakan seluruh urat nadiku menegang dan darah mengalir ke satu titik. Aku akan mencapai orgasme.

"Rie, Mas mau keluar nich.." "Gantian Ya?"
"Iya Mas, dienak-enakin lho!"
Rirrie berkata sambil kembali mengatupkan kedua kakinya. Terasa dia sedikit mengejan untuk memberi kekuatan di daerah perutnya yang mengakibatkan otot-otot di sekitar vaginanya kembali mencengkeram kuat. Semakin kupacu genjotanku dan akhirnya pada saat akan terjadi titik kulminasi kuangkat tubuhku dan kutarik penisku keluar dari vaginanya dan langsung kubalikan tubuh Rirrie dan kuraih tangan kanannya lalu kusuruh dia mengocok penisku. Kutarik kepalanya mendekati penisku. Penisku seperti dipompa sampai bocor. Air maniku
pun menyembur kencang dalam genggaman tangannya. Mengenai wajahnya. Aku melenguh. Kulihat air maniku menetes di sprei tempat tidur. Air
maniku sepertinya tidak mau berhenti. Tanganya yang lembut terus mengurut penisku dengan cepat, mengusap-usap kepala rudalku dengan ibu jarinya. Sampai air mani terakhir menetes di tangannya. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Sampai terasa ke tulang sumsum.

"Enak Mas?" tanya Rirrie. Aku mengangguk.
"Belum pernah aku merasakan yang se.pertii.. ini," jawabku terbata- bata.

Aku merasa tubuhku lelah sekali. Lemas tak berdaya. Rirrie mendekatkan wajahnya ke rudalku, dan dengan sangat-sangat lembut dikecupnya kepala rudalku berkali-kali sambil berkata, "Kamu benda kecil tapi bisa bikin orang gede kepayahan."
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Rirrie memandangku dengan mesra sambil menebarkan senyum penuh pesona. Aku langsung roboh di atas tubuhnya. Menindih tubuhnya. Kugigit perlahan lehernya. Kujilat
dagunya. Kukecup lembut bibirnya. Rirrie memeluk aku sambil mengecup lembut pundakku.

"Mas kapan-kapan kita ngewek lagi ya Mas?" pintanya.
"Iya sayang. Suatu saat kita bakal ngewe lagi.. Kita cari gaya yang lainnya," jawabku perlahan.
"Sekarang Mas pengen bobo dulu. Mas kecapean nich," aku memohon. "Iya dech Mas," balasnya.
"Mas.. Rirrie tambah sayang dech sama Mas."
Dan aku pun mendapatkan ciuman paling hangat di bibir dalam sejarahku bersamanya. Lalu tangannya turun ke bawah memegang penisku yang sudah lembek dan meremas-remasnya dengan lembut sampai dia terlelap. Kemudian kupeluk tubuhnya, kukecup keningnya lembut dengan berjuta perasaan yang ada. Dengan sisa kekuatan yang ada, kuangkat badanku
dan balik posisi badanku hingga kepalaku berada di antara selangkangannya. Kukecup lembut vagina itu. Kujilat sedikit lendir yang membasahinya. Kunikmati sebentar pesona vaginanya dengan
mulutku. Lalu akupun memejamkan mata. Kami pun tertidur meninggalkan senyum kepuasan di bibir kami.

Cerita Dewasa - Tidur Dengan Kakak Iparku








unik-asik-aneh.blogspot.com - Cerita Dewasa - Tidur Dengan Kakak Iparku
Ketika aku menikah dua tahun yang lalu, rasanya dunia ini hanya milikku seorang. Betapa tidak, aku mendapatkan seorang pria yang menjadi impian semua gadis di seluruh kampungku. Aku menjadi istri seorang pejabat di kota yang kaya raya. Bayangkan saja, suamiku memiliki puluhan hektar tanah di kampungku, belum ruko-ruko yang dikontrakan. Tidak hanya di daerah kampungku tetapi ada juga di daerah-daerah lainnya. Sudah terbayang di benakku, setiap hari aku tinggal di rumah besar dan mewah (setidaknya untuk ukuran di kampungku), naik mobil bagus keluaran terbaru.

Hari-hariku sebagai istrinya memang membahagiakan dan membanggakan. Teman-teman gadisku banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri tidak yakin dengan kebahagian yang kurasakan saat itu. Hati kecilku sering dipenuhi oleh kekhawatiran yang sewaktu-waktu akan membuat hidupku jatuh merana. Aku sebenarnya bukanlah satu-satunya wanita pendamping suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu akan keberadaanku sebagai madunya.



Ketika menikah pun aku sudah tahu akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya, memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku. Mereka malah sangat mengharapkan aku menjadi istrinya. Mungkin mereka mengharapkan kehidupan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan dipandang oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang sudah nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula hidupku cukup bahagia dengan statusku ini.

Semua itu kurasakan setahun yang lalu. Begitu menginjak tahun kedua, barulah aku merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan terakhir aku sudah tak menghitung lagi entah berapa bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.

Aku tak berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat hidupku lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertamanya tahu keberadaanku. Tentunya akan marah besar dan mengadukanku ke pihak berwajib. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia, memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan ternak-ternak piaraan pemberian suamiku.

Hari hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu tidak membuat perasaanku tenang. Justru menjadi gelisah, terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di ranjang sampai larut malam menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti di hari-hari awal pernikahan kami dulu. Sprei tempat tidurku tak pernah rapi, selalu acak-acakan dan hangat bekas pergulatan tubuh kami yang selalu berkeringat. Di saat-sat seperti inilah aku selalu merasakan kesedihan yang mendalam, gelisah mendambakan kehangatan seperti dulu. Rindu akan cumbuan hangat suamiku yang sepertinya tak pernah padam meski usianya sudah mulai menua.

Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi semakin gelisah. Gelisah oleh perasaanku yang menggebu-gebu. Bahkan akhir-akhir ini semakin membuat kepalaku pusing. Membuatku uring-uringan. Marah oleh sesuatu yang aku sendiri tak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam impianku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku. Aku menggelinjang setiap kali terkena sentuhan bibirnya, bergetar merasakan sentuhan lembut jemari tangannya di bagian tertentu tubuhku. Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbui diriku sendiri. Tangannku menggerayang ke seluruh tubuhku sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar liar mengimbangi gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi-tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan merintih kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di ranjang kembali ke alam sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.

Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap menjelang tidur. Menjadi semacam keharusan. Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan bathinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaanku saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan ia datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.

Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku sehari-hari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu kemudian bahwa ternyata Kang Hendi, suami kakakku, mengikuti perkembanganku sehari-hari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar untuk menampung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita. Sekalian menemaniku yang hidup seornag diri.

"Kasihan Neng Anna, temenin aja. Biar rumah kalian yang di sana dikontrakan saja" demikian saran orang tuaku waktu itu.

Aku pun tak keberatan. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam ketika aku sedang melakukan hal 'rutin' terperanjat setengah mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku. Sebelum sadar, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika puting payudaraku dijilat dan dihisap-hisap dengan penuh gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin bertambah hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak perlahan menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi semak-semak lebat di sekitar selangkanganku. Aku hampir berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawah tubuhku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu bergerak-gerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.

"Aduh kenapa sih ini.." gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tanganku ke bawah sana.

Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kuraba-raba dan baru kutahu bahwa itu adalah kepala seseorang. Aku kaget. Dengan refleks aku bangun dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa terjadi. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat di sana ternyata seseorang tengah merayap ke atas ranjang. Aku semakin kaget begitu kutahu orang itu adalah Kang Hendi, kakak iparku!

Saking kagetnya, aku berteriak sekuat tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebar-lebar. Kedua mataku melotot seakan tak percaya apa yang kulihat di hadapanku adalah Kang Hendi yang bertelanjang dengan hanya memakai cawat.

Kang Hendi menghampiri sambil mengisyaratkan agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut, marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat kehadirannya di kamarku dalam keadaan setengah telanjang seperti itu.

"Kang! Lagi apa..?" hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang sudah tak karuan.

Aku baru sadar ternyata seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. Untungnya saja celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang. Aku buru-buru menutupi ketelanjangan dadaku karena kulihat mata Kang Hendi yang liar nampaknya tak pernah berkedip menatap ke arah sana.

Saking takutnya aku tak bisa ngomong apa-apa dan hanya melongo melihat Kang Hendi semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih tanganku dan membisikan kata-kata rayuan bahwa aku ini cantik namun kurang beruntung dalam perkawinannya. Dadaku serasa mau meledak mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak ingat akan istrinya, yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apalagi ia sudah berani-berani masuk ke dalam kamarku malam-malam begini.

Teringat itu aku langsung bertanya, "Kemana Teh Mirna?".

"Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana" kata Kang Hendi dengan tenang seolah tidak bersalah.

Kurang ajar, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Mirna nggak ngomong-ngomong sebelumnya.

"Kok dia nggak bilang-bilang mau pulang" Tanyaku heran.

"Tadinya mau ngomong. Tapi Kang Hendi bilang nggak usah kasihan Neng Anna sudah tidur, biar nanti Akang saja yang bilangin" jelasnya.

Dasar laki-laki kurang ajar. Istrinya dibohongi biar dia bebas masuk kamarku. Aku semakin marah. Pertama ia sudah kurang ajar masuk kamarku, kedua ia berani mengkhianati istrinya yang juga kakak kandungku sendiri!

"Akang sadar saya ini adikmu juga. Akang mau ngapain kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja" kataku seraya melirik Kang Hendi sekilas. Aku tak berani lama-lama karena takut melihat tatapannya.

"Neng.." panggilnya dengan suara parau.

"Akang kasihan lihat Neng Anna. Akhir-akhir ini kelihatannya semakin menderita saja" ucapnya kemudian.

"Akang tahu dari mana saya menderita" sergahku dengan mata mendelik.

"Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Akang.. anu.." katanya dengan ragu-ragu.

"Ada apa kang?" tanyaku semakin penasaran sambil menatap wajahnya lekat-lekat.

"Anu.. eh, Akang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Akang ingin Bantu kamu" katanya tanpa malu-malu.

"Maksud Akang?"

"Ini.. Akang, maaf neng.., pernah lihat Neng Anna kalau lagi tidur suka.." ungkapnya setengah-setengah.

"Jadi Akang suka ngintip saya?" tanyaku semakin sewot.

Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian menatapku dengan penuh gairah.

"Akang ingin menolong kamu" bisiknya hampir tak terdengar.

Kepalaku serasa dihantam petir mendengar pengakuan dan keberaniannya mengungkapkan isi hatinya. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak bertenaga menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali pelampiasanku selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Kang Hendi melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.

Kang Hendi tidak menyerah begitu saja melihat kemarahanku. Kebingunganku telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu sejak kapan Kang Hendi merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada jalan bagiku untuk melarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Aku menyembunyikan kepalaku ketika ia merangkul tubuhku. Tercium aroma khas lelaki tersebar dari tubuh Kang Hendi. Aku rasakan otot-otot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua tangannya yang kekar melingkar sehingga tubuhku yang jauh lebih mungil tertutup sudah olehnya. Aku berontak sambil mendorong dadanya. Kang Hendi malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya. Tenagaku sama sekali tak berarti dibanding kekuatannya. Nampaknya usaha sia-sia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.

"Kang inget.. saya kan adik Akang juga. Lepasin saya kang. Saya janji nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja.." pintaku memelas saking putus asanya.

Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Kang Hendi memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan tangannya sudah mulai menarik-narik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindar dari ciuman itu sambil menahan pakaianku agr tak terbuka. Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Kang Hendi sekuat tenaga sambil terus-terusan mengingatkan dia agar menghentikan perbuatannya. Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa dicegah, justru sebaliknya ia semakin garang. Pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan, terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga ke pinggang dan memperlihatkan dadaku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi.

Kulihat mata Kang Hendi melotot menyaksikan buah dadaku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua tanganku dengan cepat menutupi ketelanjanganku dari tatapan liar mata lelaki itu. Upayaku itu membuat Kang Hendi semakin beringas. Ia marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di atas tubuhku.

"Kang jangan!" cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.

Kedua tanganku dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi kepalaku. Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan buah dadaku yang menjulang tegar ke atas. Kepalaku meronta-ronta begitu kurasakan wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin menyaksikan bagian tubuhku yang tak pernah tersentuh orang lain kecuali suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Kang Hendi. Aku tak rela ia menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. Sia-sia saja. Air mataku langsung menetes di pipi. Aku tak sanggup menahan tangisku atas perbuatan tak senonoh ini.

Kulihat wajah Kang Hendi menyeringai senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil berkata bahwa dirinya justru menolong diriku. Ia, katanya, akan berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.

"Kamu tenang aja dan nikmati. Akang janji akan pelan-pelan. Nggak kasar asal kamu jangan berontak.." katanya kemudian.

Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Kang Hendi mengucapkan kata-kata seperti itu, karena aku tak rela diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan Kang Hendi menciumi wajahku sesuka hati. Bibirnya dengan leluasa mengulum bibirku, menjilati seluruh wajahku. Aku hanya diam tak bergerak dengan mata terpejam.

Hatiku menjerit merasakan cumbuannya yang semakin liar, menggerayang ke leher dan teus turun ke atas dadaku. Aku menahan nafas manakala bibirnya mulai menciumi kulit di seputar buah dadaku. Lidahnya menari-nari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit buah dadaku. Kadang-kadang lidahnya menjentik sekali-sekali ke atas putingku.

"Nggak rela.. nggak rela..!" jeritku dalam hati.

Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. Terdengar suara kecipakan mulutnya yang dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin merasakan setiap inci kekenyalannya. Aku seakan terpana oleh cumbuannya. Hatiku bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kemana tenagaku? Kenapa aku tidak berontak? Kenapa membiarkan Kang Hendi berbuat semaunya padaku? Aku mendengus frustrasi oleh perasaanku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam diriku. Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. Memiliki kehormatan. Aku bukanlah wanita murahan yang dapat sesuka hati mencari kepuasan. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletup-letup tak terkendali. Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang hebat merasakan perang bathin ini. Aku tak tahu mana yang lebih kuat. Bukankah perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?

Tanpa sadar dari bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan, Kang Hendi dapat mendengarnya dan merasakan perubahan yang terjadi dari tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia nampak begitu yakin bahwa aku akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangannya pada tanganku pun dilepaskan dan berpindah ke atas buah dadaku untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari cekalannya.

Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Kang Hendi ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan terbebasnya tanganku untuk mendorong tubuhnya dari atasku. Aku malah menaruhnya di atas kepala Kang Hendi yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malah meremas rambutnya, menekan kepalanya ke atas dadaku.

"Kang udah.. jangaann..!" rintihku masih memintanya berhenti.


Oh sungguh munafik sekali diriku! Mulutku terus-terusan mencegah namun kenyataannya aka malah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Akal sehatku sudah hilang entah kemana. Aku sudah tak ingat akan suamiku, kakakku, atau diriku sendiri. Yang kuingat hanyalah rangsangan dahysat akibat jilatan dan kuluman bibir Kang Hendi di seputar putingku. Tangannku menggerayang di atas punggungnya. Meraba-raba kekerasan otot-otot pejalnya. Aku semakin terbang melayang, membayangkan keperkasaannya. Inikah jawaban atas semua mimpi-mimpiku selama ini? Haruskah semua ini kulakukan? Meski dengan kakak iparku sendiri? Apakah aku harus mengorbankan semuanya? Pengkhianatan pada suamiku? Kakakku? Hanya untuk memuaskan keinginanku seorang? Aakkhh.. tidak.. tidak! jeritku mengingat semua ini.




Cerita Dewasa - Namun apa mau dikata, cumbuan Kang Hendi yang begitu lihai sepertinya tahu persis keinginanku. Kebutuhanku yang sudah cukup lama terkekang. Letupan gairah wanita kesepian yang tak pernah terlampiaskan. Peperangan dalam bathinku usai sudah dan aku lebih mengikuti naluri gairah birahiku.

"Akaangg..!" jeritku lirih tak sadar memanggil namanya saat puting susuku disedot kuat-kuat.

Aku menggelinjang kegelian. Sungguh nikmat sekali hisapan itu. Luar biasa. Kurasakan selangkanganku mulai basah, meradang. Tubuhku menggeliat-geliat bagai ular kepanasan mengimbangi permainan lidah dan mulut Kang Hendi di buah dadaku yang terasa semakin menggelembung keras.

"Oohh Neng.. bagus sekali teteknya. Akang suka sekali.. mmpphh.. wuiihh.. montok banget" komentar Kang Hendi.

Sebenarnya hatiku tak menerima ucapan-ucapan kotor yang keluar dari mulut Kang Hendi. Sepertinya aku ini wanita murahan, yang biasa mengobral tubuhnya hanya demi kepuasan lelaki hidung belang. Tetapi perasaan itu akhirnya tertutup oleh kemahirannya dalam mencumbu diriku. Tubuhku sepertinya menyambut hangat setiap kecupan hangat bibirnya. Badanku melengkung dan dadaku dibusungkan untuk mengejar kecupan bibirnya. Nampaknya justru akulah yang menjadi agresif. Liar seperti kuda binal yang baru lepas kandang.

"Mmpphh.. Neng Anna.. kalau saja Akang dari dulu tahu. Tentunya Neng nggak perlu lagi gelisah tiap malam sendirian. Akang pasti mau nemenin semalamam.." celoteh Kang Hendi seakan tak tahu betapa malunya diriku mendengar ucapan itu.

Aku sudah tak perduli lagi dengan celotehan tak senonohnya. Aku sudah memutuskan untuk menikmati apa yang sedang kunikmati saat ini. Kudorong kepala kang Hendi ke bawah menyusur perutku. Aku ingin merasakan seperti saat kubermimpi tadi. Rupanya Kang Hendi mengerti keinginanku. Dengan nafsu menggebu-gebu, ia mulai bergerak. Kedua tangannya menelusup ke bawah tubuhku, mencekal pinggangku. Mengangkat pinggulku sedikit kemudian tangannya ditarik ke bawah meraih tepian celana dalamku dan memelorotkannya hingga terlepas dari kedua kakiku. Aku mengikuti apa yang ia lakukan. Aku kini sudah terbebas. Pakaian tidurku entah sudah tercampak dimana. Tubuhku sudah telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun yang menghalangi.

Kulirik Kang Hendi terbelalak memandangi ketelanjanganku. Ia seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapan matanya kini. Gairahku seakan mau meletup melihat tatapan penuh pesona mata Kang Hendi. Membuatku demikian tersanjung. Aku bangga dikarunia bentuk tubuh yang begitu indah. Kedua dadaku membusung penuh, keras dan kenyal. Perutku ramping dan rata. Pinggulku memiliki lekukan yang indah dan pantatku bulat penuh, menungging indah. Kedua kakiku panjang dan ramping. Mulai dari pahaku yang gempal dan bentuk betisku yang menggairahkan.

Mungkin kang Hendi tak pernah mengira akan keindahan tubuhku ini karena memang sehari-hari aku selalu menggunakan pakaian yang tidak pernah menonjolkan lekukan tubuhku. Aku bisa membayangkan bagaimana terkagum-kagumnya Kang Hendi melihatku dalam keadaan telanjang bulat.

"Neng.. kamu cantik sekali. Sempurna.. oohh indah sekali. Mmhh.. teteknya montok dan aakkhh.. lebat sekali.." puji Kang Hendi tak henti-hentinya menatap selangkanganku yang dipenuhi bulu hitam lebat, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih.

Mataku melirik ke bawah melihat tonjolan keras di balik cawatnya. Uugghh.. kurasakan dadaku berdegub, selangkanganku berdenyut dan semakin membasah oleh gairah membayangkan batang keras dibalik cawatnya. Gede sekali dan panjang! Lenguhku dalam hati sambil menahan rangsangan hebat.

"Kaanngg.. ngghh.. jangan ngeliatin aja. Khan malu.." rengekku manja dengan gaya mulai bergenit-genit.

Seakan baru tersadar dari keterpesonaannya, Kang Hendi lalu mulai beraksi.

"Abisnya cantik sekali kamu sih, Neng" katanya kemudian seraya melepaskan cawatnya hingga ia pun kini sama-sama telanjang.

Kulihat batang kontolnya yang keras itu meloncat keluar seperti ada pernya begitu lepas dari kungkungan cawatnya. Mengacung tegang dengan gagahnya. Aku terbelalak melihatnya. Benar saja besar dan panjang. Kulihat otot-ototnya melingkar di sekujur batang itu. Aku sudah tak sabar ingin merasakan kekerasannya dalam genggamanku. Terus terang baru kali ini aku melihat kontol selain milik suamiku. Dan apa yang dimiliki kang Hendi membuat punya suamiku seperti milik anak kecil saja. Lagi-lagi aku membanding-bandingkan. Buru-buru pikiran itu kubuang. Aku lebih suka menyambut kedatangan Kang Hendi menindih tubuhku lagi.

Kini aku langsung menyambut hangat ciumannya sambil merangkulnya dengan erat. Ciuman Kang Hendi benar-benar menghanyutkan. Aku dibuatnya bergairah. Apalagi kurasakan gesekan kontol yang keras di atas perutku semakin membuat gairahku meledak-ledak. Kang Hendi lalu kembali menciumi buah dadaku. Kali ini kusodorkan dengan sepenuh hati. Kurasakan hisapan dan remasannya dengan penuh kenikmatan. Tanganku mulai berani lebih nakal. Menggerayang ke sekujur tubuhnya, bergerak perlahan namun pasti ke arah batangnya. Hatiku berdesir kencang merasakan batang nan keras itu dalam genggamanku. Kutelusuri mulai dari ujung sampai pangkalnya. Jemariku menari-nari lincah menelusuri urat-urat yang melingkar di sekujur batangnya. Kukocok perlahan dari atas ke bawah dan sebaliknya. Terdengar Kang Hendi melenguh perlahan. Kuingin ia merasakan kenikmatan yang kuberikan. Ujung jariku menggelitik moncongnya yang sudah licin oleh cairannya. Lagi-lagi Kang Hendi melenguh. Kali ini lebih keras.

Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Kepalanya persis berada di atas selangkanganku sementara miliknya persis di atas wajahku. Kulihat batangnya bergelantungan, ujungnya menggesek-gesek mulutku. Entah dari mana keberanianku muncul, mulutku langsung menangkap kontolnya. Kukulum pelan-pelan. Sesungguhnya aku tak pernah melakukan hal ini kepada suamiku sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berubah menjadi binal, tak ada bedanya dengan perempuan-perempuan nakal di jalanan. Namun aku tak peduli. Aku ingin merasakan kebebasan yang sebenar-benarnya. Kuingin semua naluriku melampiaskan fantasi-fantasi liar yang ada dalam diriku. Kuingin menikmati semuanya.

Kang Hendi tak mau kalah. Lidahnya menjulur menelusuri garis memanjang bibir kemaluanku. Aku terkejut seperti terkena listrik. Tubuhku bergetar. Kurasakan darahku berdesir kemana-mana. Lidah Kang Hendi bermain lincah. Menjilat, menusuk-nusuk, menerobos rongga rahimku. Aku seperti melayang-layang di atas awan. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Aku tak pernah merasakan dijilati seperti itu sebelumnya. Nikmatnya sungguh tak terkira. Pinggulku tak bisa diam, mengikuti kemana jilatan lidah Kang Hendi berada.

Tubuhku seperti dialiri listrik berkekuatan tinggi. Gemetar menahan desakan kuat dalam tubuhku. Rasanya aku tak tahan menerima kenikmatan ini. Perutku mengejang. Kakiku merapat, menjepit kepala Kang Hendi. Seluruh otot-ototku menegang. Jantungku serasa berhenti. Aku berkutat sekuat tenaga sampai akhirnya ku tak mampu lagi dan langsung melepaskannya diiringi jeritan lirih dan panjang. Tubuhku menghentak berkali-kali mengikuti semburan cairan hangat dari dalam liang memekku. Aku terhempas di atas ranjang dengan tubuh lunglai tak bertenaga. Puncak kenikmatan yang kucapai kali ini sungguh luar biasa dan dahysat. Aku merasa telah terbebas dari sesuatu yang sangat menyesakan dada selama ini.

"Oohh.. Kaanngg.. ngghh.. enak sekali.." rintihku tak kuasa menahan diri.

Aku sendiri tak sadar dengan apa yang kuucapkan. Sungguh memalukan sekali pengakuan atas kenikmatan yang kurasakan saat itu. Aku tak ingin Kang Hendi menilai rendah diriku. Ku tak ingin ia tahu aku sangat menikmati cumbuannya. Kulihat Kang Hendi tersenyum di bawah sana. Ia merasa sudah mendapatkan kemenangan atas diriku. Ia bangga dengan kehebatannya bercinta hingga mampu membuatku orgasme lebih dulu. Aku tak bisa berbuat banyak, karena harus kuakui bahwa diriku sangat membutuhkannya saat ini. Membutuhkan apa yang sedang kuggengam dalam tanganku. Benda yang tentunya akn memberikan kenikmatan yang lebih dari yang kudapatkan barusan.

Tanpa sadar jemariku meremas-remas kembali batang kontolnya. Kukocok perlahan dan kumasukan ke dalam mulutku. Kukulum dan kujilat-jilat. Kurasakan Kang Hendi meregang, merintih kenikmatan. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku ingin ia merasakan kenikmatan pula. Kenikmatan yang akan membuatnya memohon-mohon padaku. Kulumanku semakin panas. Lidahku melata-lata liar di sekujur batangnya. Aku bertekad untuk mengeluarkan air maninya secepat mungkin.

Terdengar suara selomotan mulutku. Kang Hendi merintih-rintih keenakan. Rasain, runtukku dalam hati dan mulai tak sabar ingin melihat air maninya menyembur keluar. Di atas tubuhku, Kang Hendi menggerakan pinggulnya seolah sedang bersenggama, hanya saja saat itu kontolnya menancap dalam mulutku. Kuhisap, kusedot kuat-kuat. Ia masih bertahan. Aku kembali berusaha tetapi nampaknya ia belum memperlihatkan tanda-tanda. Aku sudah mulai kecapaian. Mulutku terasa kaku. Sementara gairahku mulai bangkit kembali. Liang memekku sudah mulai mengembang dan basah kembali, sedangkan kontol Kang Hendi masih tegang dan gagah perkasa. Bahkan terasa lebih keras.

"Udah Neng. Ganti posisi aja.." kata Kang Hendi kemudian seraya membalikkan tubuhnya dalam posisi umumnya bersetubuh.

Kang Hendi memang piawai dalam bercinta. Ia tidak langsung menancapkan kontolnya ke dalam memekku, tetapi digesek-gesekan dulu di sekitar bibir kemaluanku. Ia sepertinya sengaja melakukan itu. Kadang-kadang ditekan seperti akan dimasukan, tetapi kemudian digeserkan kembali ke ujung atas bibir kemaluanku menyentuh kelentitku. Kepalanya digosok-gosokan. Aku menjerit lirih saking keenakan. Ngilu, enak dan entah apa lagi rasanya.

"Kaangg.. aduuhh.. udah kang! Sshh.. mmppffhh.. ayoo kang.. masukin aja.. nggak tahan!" pintaku menjerit-jerit tanpa malu-malu.

Aku sudah tak memikirkan lagi kehormatan diriku. Rasa gengsi atau apapun. Yang kuinginkan sekarang adalah ia segera mengisi kekosongan liang memekku dengan kontolnya yang besar dan panjang. Aku nyaris mencapai orgasme leagi hanya dengan membayangkan betapa nikmatnya kontol sebesar itu mengisi penuh liang memekku yang rapat.

"Udah nggak tahan ya, Neng" candanya sehingga membuatku blingsatan menahan nafsu. Kurang ajar sekali Kang Hendi ini. Ia tahu aku sudah dalam kendalinya jadi bisa mempermainkan perasaanku semau-maunya.

Aku gemas sekali melihatnya menyeringai seperti itu. Di luar dugaannya, aku langsung menekan pantatnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Kang Hendi sama sekali tak menyangka hal ini. Ia tak sempat menahannya. Maka tak ayal lagi batang kontolnya melesak ke dalam liang memekku. Aku segera membuak kedua kakiku lebar-lebar, memberi jalan seleluasa mungkin bagi kontolnya. Aku berteriak kegirangan dalam hati, akhirnya kontol Kang Hendi berhasil masuk seluruhnya. Meski cukup menyesakkan dan membuat liang memekku terkuak lebar-lebar, tetapi aku puas dan lega karena keinginanku tercapai sudah.

Kulihat wajah Kang Hendi terbelalak tak menyangka akan perbuatanku. Ia melirik ke bawah melihat seluruh kontolnya terbenam dalam liangku. Aku tersenyum menyaksikannya.

Ia balas tersenyum, "Kamu nakal ya.." katanya kemudian.

"Awas, entar Akang bikin kamu mati keenakan. "

"Mau doongg.." jawabku dengan genit sambil memeluk tubuh kekarnya.

Kang Hendi mulai menggerakan pinggulnya. Pantatnya kulihat naik turun dengan teratur. Kadang-kadang digeol-geolkan sehingga ujung kontolnya menyentuh seluruh relung-relung vaginaku. Aku turut mengimbanginya. Pinggulku berputar penuh irama. Bergerak patah-patah, kemudian berputar lagi. Goyangan ini timbul begitu saja dalam benakku. Mungkin terlalu sering nonton penyanyi dangdut bergoyang di panggung. Tetapi efeknya sungguh luar biasa. Kang hendi tak henti-hentinya memuji goyanganku. Ia bilang belum pernah merasakan goyangan sehebat ini. Aku tambah bergairah. Pinggulku terus bergoyang tanpa henti sambil mengedut-edutkan otot vaginaku sehingga Kang Hendi merasakan kontol seperti diemut-emut.

"Akkhh Neengg.. eennaakkhh.., hebaathh.. uugghh.." erangnya berulang-ulang.

Kang Hendi mempercepat irama tusukannya. Kurasakan batang kontol besar itu keluar masuk liang memekku dengan cepatnya. Aku imbangi dengan cepat pula. Kuingin Kang Hendi lebih cepat keluar. Aku ingin membuatnya KO! Kami saling berlomba, berusaha saling mengalahkan. Kuakui permainan Kang Hendi memang luar biasa. Mungkin kalau aku belum sempat orgasme tadi, tentunya aku sudah keluar duluan. Aku tersenyum melihat Kang Hendi nampak berusaha keras untuk bertahan, padahal sudah kurasakan tubuhnya mulai mengejang-ngejang. Aku berpikir ia akan segera tumpah.

Pinggulku meliuk-liuk liar bak kuda binal. Demikian pula Kang Hendi, pantatnya mengaduk-aduk cepat sekali. Semakin bertambah cepat, sudah tidak beraturan seperti tadi. Aku terperangah karena tiba-tiba saja terasa aliran kencang berdesir dalam tubuhku. Akh.. nampaknya aku sendiri tidak tahan lagi. Memekku terasa merekah semakin lebar, kedua ujung puting susuku mengeras, mencuat berdiri tegak. Mulut Kang Hendi langsung menangkapnya, menyedotnya kuat-kuat. Menjilatinya dengan penuh nafsu. Aku membusungkan dadaku sebisa mungkin dan oohh.. rasanya aku tak kuat lagi bertahan.

"Kang Hendi! Cepet keluarin juga..!" teriakku sambil menekan pantatnya kuat-kuat agar mendesak selangkanganku.

Beberapa detik kemudian aku segera menyemburkan air maniku disusul kemudian oleh semprotan cairan hangat dan kental menyirami seluruh liang memekku. Tubuh Kang Hendi bergetar keras. Ia peluk diriku erat-erat. Aku balas memeluknya. Kami lalu bergulingan di ranjang merasakan kenikmatan puncak permainan cinta ini dengan penuh kepuasan. Kami merasakannya bersama-sama. Kami sudah tidak memperdulikan tubuh kami yang sudah basah oleh peluh keringat, bantal berjatuhan ke lantai. Sprei berantakan tak karuan, terlepas dari ikatannya. Eranganku, jeritan nikmatku saling bersahutan dengan geramannya. Kedua kakiku melingkar di seputar pinggangnya. Aku masih merasakan kedutan-kedutan batang kontol Kang Hendi dalam memekku.

Nikmat sekali permainan gairah cinta yang penuh dengan gelora nafsu birahi ini. Aku termenung merasakan sisa-sisa akhir kenikmatan ini. Pikiranku menerawang jauh. Apakah aku masih bisa merasakan kehangatan ini bersama Kang Hendi. Apakah hanya sampai disini saja mengingat perselingkuhan ini suatu saat akan terungkap juga. Bagaimana akibatnya? Bagaimana perasaan kakakku? Orang tuaku, suamiku dan yang lainnya? Akh! Aku tak mau memikirkannya saat ini. Aku tak ingin kenikmatan ini terganggu oleh hal-hal lain. Kuingin merasakan semuanya malam ini bersama Kang Hendi. Lelaki yang telah memberikan pengalaman baru dalam bercinta. Dialah orang yang telah membuat lembaran baru dalam garis kehidupan masa depanku.

Semenjak peristiwa di malam itu, aku dan Kang Hendi selalu mencari kesempatan untuk melakukannya kembali. Ia memang seorang lelaki yang benar-benar jantan. Begitu perkasa. Aku harus akui ia memang sangat pandai memuaskan wanita kesepian seperti diriku. Ia selalu hadir dalam dekapanku dengan gaya permainan yang berlainan. Aku tidak penah bosan melakukannya, selalu ada yang baru. Salah satu diantaranya, yang juga merupakan gaya favoritku, ia berdiri sambil memangku tubuhku. Kedua kakiku melingkar di pinggangnya, tanganku bergelayut di lehernya agar tak terjatuh. Selangkanganku terbuka lebar dan batang kontolnya menusuk dari bawah. Aku bergelayutan seperti dalam ayunan mengimbangi tusukan kontolnya. Kang Hendi melakukan semua itu sambil berjalan mengelilingi kamar dan baru berhenti di depan cermin. Saat kumenoleh kebelakang aku bisa melihat bayangan pantatku bergoyang-goyang sementara kontolnya terlihat keluar masuk memekku. Sungguh asyik sekali permainan dalam gaya ini.

Namun perselingkuhanku dengan Kang Hendi berlangsung tak begitu lama. Aku sudah sangat ketakutan semua ini suatu saat terungkap. Makanya aku memutuskan untuk pindah dari kampungku agar tidak bertemu lagi dengannya. Terus terang saja, setelah kejadian itu, justru akulah yang sering memintanya untuk datang ke kamarku malam-malam. Aku tak pernah bisa menahan diri. Apalagi kalau sudah melihatnya bercanda mesra dengan kakakku. Pernah suatu kali aku penasaran untuk mengintip mereka bercinta di kamarnya. Aku kebingungan sendiri sampai akhirnya lari ke kamar dan melakukannya sendiri hingga aku mencapai kenikmatan karena menunggu Kang Hendi jelas tak mungkin karena istrinya ada di rumah. Keadaan ini jelas tak mungkin berlangsung terus menerus, selain akan terungkap, akupun rasanya akan menderita harus bertahan seperti ini.

Dengan berat hati akhirnya aku pindah ke kota. Kujual semua hartaku, termasuk rumah tinggal, sawah dan ternak-ternak milikku untuk modal nanti di kehidupanku yang baru. Kecuali mobil karena kuanggap akan sangat berguna sebagai alat transportasi untuk menunjang kegiatanku nanti.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. akunabihahaha - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger